MALANG - Empat gerbong Kereta Api (KA) Gajayana yang sedang parkir di Stasiun Kota Baru,Malang, Selasa (4/1), tiba-tiba meluncur sendiri hingga melewati Stasiun Kota Lama. Gerbong menabrak tiga rumah warga, menyebabkan seorang balita tewas.
Para pengguna kereta api listrik (KRL) jurusan Jakarta-Bogor pernah dihebohkan dengan gosip soal adanya kereta hantu Manggarai, kereta yang tiba-tiba bisa berjalan sendiri tanpa awak saat malam hari. Di Kota Malang, kejadian aneh itu bukan lagi sekadar gosip, namun benar-benar terjadi pada Selasa (4/12) siang.
Peristiwa yang menggegerkan warga Kelurahan Ciptomulyo, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang itu terjadi sekitar pukul 13.15 WIB. Empat gerbong dari Kereta Api (KA) Eksekutif Gajayana jurusan Jakarta-Malang, tiba-tiba berjalan sendiri, sampai akhirnya menabrak tiga rumah yang terletak di bantaran rel.
Kejadian itu bermula saat KA dari Stasiun Gambir Jakarta, tiba di perhentian terakhirnya, Stasiun Kota Baru, Malang, sekitar pukul 11.55 WIB. Kereta itu terdiri dari lokomotif, satu gerbong makan, satu gerbong pembangkit, dan tujuh gerbong penumpang.
Humas PT Kereta Api Indonesia Daop VIII Surabaya, Sri Winarto mengatakan, setelah penumpang turun semua, kereta lalu langsir guna diparkir di jalur 4. ”Jalur ini adalah jalur mati, dan hanya digunakan untuk memperbaiki, atau membersihkan kereta sebelum berangkat lagi,” kata Winarto, ditemui di Stasiun Kota Baru.
Di jalur tersebut, sejumlah teknisi lalu melaksanakan tugas mereka, memperbaiki dan membersihkan kereta. Masih menurut Winarto, petugas lalu menjalankan prosedur keamanan, dengan memutus sambungan lokomotif dan gerbong.
”Sambungan antara gerbong nomor lima, dengan gerbong nomor enam, juga diputus. Hal itu dilakukan karena ada beberapa perbaikan di gerbong tersebut, antara lain, mengganti karet yang ada di sambungan gerbong, dan masalah kelistrikan,” ujar Winarto.
Nah, saat dalam masa perbaikan itu, empat gerbong paling belakang, tiba-tiba berjalan sendiri. Winarto mengaku dirinya memang belum memeriksa kronologi peristiwa yang sebenarnya terjadi, namun, sejumlah teknisi yang dimintai keterangan memastikan, tidak ada satu pun teknisi yang berada di dalam empat gerbong tersebut.
Para teknisi juga mengaku, sudah melakukan semua standar operasional keamanan, termasuk memberi stop block, atau ganjalan khusus yang digunakan untuk menghambat roda kereta saat berhenti. ”Setidaknya itu pengakuan mereka. Tapi, lebih pastinya, petugas KNKT (Komisi Nasional Keselamatan Transportasi) masih melakukan pemeriksaan secara terperinci,” urai Winarto.
Kereta itu akhirnya terus berjalan, menempuh jarak sekitar 2,5 kilometer sampai Stasiun Kota Lama, hingga akhirnya ’dipaksa’ berhenti di sana. Petugas sinyal di stasiun tersebut, Achmad Suyuthi, lalu membelokkan rel yang dilintasi kereta itu. ”Tujuannya, agar kereta bisa menabrak spoor-box,” terang Suyuthi kepada sejumlah polisi.
Spoor-box adalah semacam beton yang dipasang di ujung rel mati. Fungsinya, memang untuk ditabrakkan kereta yang tidak bisa berhenti.
Keputusan membelokkan kereta ke spoor box ini memang sebuah prosedur standar. Menurut Suyuthi, kalau saja kereta itu tidak ditabrakkan spoor-box, akibatnya bisa lebih fatal. Kereta bisa terus bergerak liar, dan bisa ditabrak kereta lain yang datang dari arah selatan.
Kereta memang akhirnya berbelok dan menabrak beton tebal tersebut. Namun, laju dan beban empat gerbong tersebut nyatanya terlalu kuat untuk ditahan.
Keempat gerbong itu terus melaju, hingga akhirnya menerjang tiga rumah warga di bantaran rel. Tiga rumah yang punya alamat resmi Jl Simpang Peltu Sujono RT 11/RW 3, Kelurahan Ciptomulyo, Kecamatan Sukun itu, antara lain, milik Misno (46), Jamil (70), dan Sutrisno (50).
Rumah milik Misno dan Jamil hancur rata dengan tanah. Sementara rumah milik Sutrisno, yang baru saja direnovasi karena putrinya akan menikah bulan Maret 2011 ini, rusak berat.
Nahas, kejadian ini makan korban jiwa. Anak Misno, Muhammad Nur Rosyid (2), tewas diterjang kereta. Sebelum tabrakan terjadi, tiga dari lima anak Misno, yakni Johan Pribadi (20), M Nur Rosyid (2), serta M Risky (1), masih tidur di rumah tersebut. Semua berhasil lolos dari kejadian ini, kecuali Rosyid, Ia tidak sempat dievakuasi.
Johan, kakak Rosyid, masih terlihat shock dengan kejadian ini. Ia sendiri mengaku terbangun dari tidur gara-gara mendengar adiknya, Risky menangis. ”Begitu terbangun, saya dengar orang-orang sudah pada teriak. Saya lalu hanya sempat selamatkan Risky,” ujarnya dengan nada lirih.
Dari keterangan keluarga Misno, Rosyid meninggal bukan karena tergencet. Debu dan pasir dari reruntuhan rumah, memenuhi saluran pernapasannya hingga mengalami infeksi.
Peristiwa kereta menabrak rumah di perkampungan bantaran rel Stasiun Kota Lama ini ternyata bukan yang pertama. Tahun 2005, rangkaian gerbong tangki dari Depo Jagalan, juga menerjang rumah warga. Yang ditabrak pun sama, yakni rumah Misno. Ketika itu, bibi Misno, Rupiatin (56), mengalami luka berat di kaki, yang dideritanya sampai sekarang.
”Karena kejadian kedua kalinya ini, kami sudah putuskan untuk tidak lagi tinggal di situ selamanya,” kata H Abdul Mujib, alias Abah Ateng, kakak Misno.
Abdul Mujib sendiri menyadari, seperti apa bahaya dan risiko tinggal di bantaran rel. Namun, ia menolak tegas tudingan kalau rumah yang ditinggali adiknya itu adalah hunian liar.
”Tahun 1975, tanah itu saya beli Rp 2 juta dari PJKA, lalu saya bangun rumah. Ada bukti hitam di atas putihnya. Semua warga di situ juga beli tanah itu,” kata pemilik bengkel bubut ini.
Namun, ucapan Misno ini dibantah oleh Sri Winarto. ”Logikanya, tanah PT KAI itu tanah negara. Kita memang bisa menyewakannya sementara waktu, tapi tidak pernah bisa menjualnya. Setelah tabrakan 2005, kita sebenarnya sudah menyosialisasikan kepada warga di kawasan kecelakaan, agar segera pindah,” ungkap Winarto.
Kapolres Kota Malang, AKBP Agus Salim mengatakan, ada kemungkinan peristiwa yang makan korban jiwa ini disebabkan kelalaian seseorang. Namun, pihaknya masih akan menunggu hasil penyelidikan yang dilakukan KNKT.
Bagaimana kereta itu berjalan, masih membuat bingung sejumlah pihak, termasuk Sri Winarto sendiri. Namun ia mengatakan, kereta memang mungkin berjalan sendiri dari Stasiun Kota Baru ke Stasiun Kota Lama.
Pasalnya, kondisi geografis Kota Baru memang lebih tinggi dari Kota Lama. Kota Baru berada di ketinggian 444 dpl (di atas permukaan laut), sementara Kota Lama berada di ketinggian 429 dpl. ”Yang buat saya bingung, bukan bagaimana kereta itu bisa berjalan ke sana. Tapi, apa yang membuatnya berjalan,” cetusnya.
Kejadian ini juga membuat penumpang KA Gajayana yang menuju Jakarta keleleran di Stasiun Kota Baru. Kereta, harus terlambat satu setengah jam lebih, karena menunggu gerbong pembangkit pengganti dari Surabaya.
Sementara dua dari empat gerbong ’hantu’ ini sudah ditarik. Dua gerbong dengan mudah ditarik karena masih berada di rel. Sementara evakuasi dua gerbong lain, harus menunggu kereta crane dari Solo, karena posisinya sudah di luar rel dan masuk ke reruntuhan rumah.
Pakar transportasi Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Herawati, menyampaikan analisisnya bahwa empat gerbang KA Gajayana bisa meluncur sendiri karena faktor ketinggian (elevasi) tanah yang menjadi tumpuan rel tidak rata.
“Gerbong kereta dalam posisi berhenti tiba-tiba mundur karena dipengaruhi tingkat elevasi. Naik turunnya elevasi yang memengaruhi gerbong kereta sehingga mundur dengan sendirinya. Namun semua harus diselidiki lebih rinci. Ini baru analisa awal,” jelas Herawati ketika dihubungi Surya, Selasa (4/1) malam.
Dia mengibaratkan mobil yang diparkir di jalan. Jika kondisi jalan itu tingkat elevasinya terjaga, maka mobil tetap berhenti. Manakala kondisi jalan sedikit menurun saja, mobil bisa ngglender. Hal sama kemungkinan besar terjadi pada empat gerbang kereta yang diparkir di atas rel.
Dosen ITS ini pun prihatin dengan insiden yang menelan korban jiwa tersebut. “Kami berharap agar diselidiki lebih detail untuk memastikan penyebabnya,” tambahnya.ab/fai
0 komentar:
Posting Komentar