Jumat, 22 April 2011

Latar Belakang Lahirnya Nahdlatul Ulama

Ada tiga alasan yang melatarbelakangi lahirnya Nahdlatul Ulama 31 Januari 1926:
Motif Agama. Nahdlatul Ulama lahir atas semangat menegakkan dan mempertahankan Agama Allah di Nusantara, meneruskan perjuangan Wali Songo. Terlebih Belanda-Portugal tidak hanya menjajah nusantara, tapi juga menyebarkan agama Kristen-katolik dengan sangat gencarnya. Mereka membawa para misionaris-misionaris kristiani ke berbagai wilayah.
2. Motif Nasionalisme. NU lahir karena niatan kuat untuk menyatukan para ulama dan tokoh-tokoh agama dalam melawan penjajahan. Semangat nasionalisme itu pun terlihat juga dari nama Nahdlatul Ulama itu sendiri yakni Kebangkitan Para Ulama.NU pimpinan Mbah Hasyim Asy’ari sangat nasionalis. Sebelum RI merdeka, para pemuda di berbagai daerah mendirikan organisasi bersifat kedaerahan, seperti Jong Cilebes, Pemuda Betawi, Jong Java, Jong Ambon, Jong Sumatera, dan sebagainya. Tapi, kiai-kiai NU justru mendirikan organisasi pemuda bersifat nasionalis. Pada 1924, para pemuda pesantren mendirikan Syubbanul Wathon(Pemuda Tanah Air). Organisasi pemuda itu kemudian menjadiAnsor Nahdlatoel Oelama (ANO) yang salah satu tokohnya adalah pemuda gagah, Muhammad Yusuf (KH M. Yusuf Hasyim -Pak Ud). Selain itu dari rahim NU lahir lasykar-lasykar perjuangan fisik, dikalangan pemuda muncul lasykar-lasykar Hizbullah (Tentara Allah) dengan panglimanya KH. Zainul Arifin seorang pemuda kelahiran Barus Sumatra Utara 1909, dan di kalangan orang tuaSabilillah (Jalan menuju Allah) yang di komandoi KH. Masykur.

Sejarah mencatat, meski bangsa Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, 53 hari kemudian NICA (Netherlands Indies Civil Administration) nyaris mencaplok kedaulatan RI. Pada 25 Oktober 1945, 6.000 tentara Inggris tiba di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Pasukan itu dipimpin Brigadir Jenderal Mallaby, panglima brigade ke-49 (India). Penjajah Belanda yang sudah hengkang pun membonceng tentara sekutu itu.

Praktis, Surabaya genting. Untung, sebelum NICA datang, Soekarno sempat mengirim utusan menghadap Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari di Pesantren Tebuireng, Jombang. Melalui utusannya, Soekarno bertanya kepada Mbah Hasyim, “Apakah hukumnya membela tanah air? Bukan membela Allah, membela Islam, atau membela Al-Qur’an. Sekali lagi, membela tanah air?”

Mbah Hasyim yang sebelumnya sudah punya fatwa jihad kemerdekaan bertindak cepat. Dia memerintahkan KH. Wahab Hasbullah, KH Bisri Syamsuri, dan kiai lain untuk mengumpulkan kiai se-Jawa dan Madura. Para kiai dari Jawa dan Madura itu lantas rapat di Kantor PB Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO), Jalan Bubutan VI/2, Surabaya, dipimpin Kiai Wahab Hasbullah pada 22 Oktober 1945.

Pada 23 Oktober 1945, Mbah Hasyim Asy’ari atas nama Pengurus Besar NU mendeklarasikan seruan jihad fi sabilillah, yang kemudian dikenal dengan Resolusi Jihad. Ada tiga poin penting dalam Resolusi Jihad itu.Pertama, setiap muslim – tua, muda, dan miskin sekalipun- wajib memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan Indonesia. Kedua,pejuang yang mati dalam perang kemerdekaan layak disebut syuhada.Ketiga, warga Indonesia yang memihak penjajah dianggap sebagai pemecah belah persatuan nasional, maka harus dihukum mati.

Jadi, umat Islam wajib hukumnya membela tanah air. Bahkan, haram hukumnya mundur ketika kita berhadapan dengan penjajah dalam radius 94 km (jarak ini disesuaikan dengan dibolehkannya qashar salat). Di luar radius itu dianggap fardu kifayah (kewajiban kolektif, bukan fardu ain, kewajiban individu).

Fatwa jihad yang ditulis dengan huruf pegon itu kemudian digelorakan Bung Tomo lewat radio. Keruan saja, warga Surabaya dan masyarakat Jawa Timur yang keberagamaannya kuat dan mayoritas NU merasa terbakar semangatnya. Ribuan kiai dan santri dari berbagai daerah -seperti ditulis M.C. Ricklefs (1991), mengalir ke Surabaya. Meletuslah peristiwa 10 November 1945 yang dikenang sebagai hari pahlawan. Para kiai dan pendekar tua membentuk barisan pasukan non reguler Sabilillah yang dikomandani oleh KH. Maskur. Para santri dan pemuda berjuang dalam barisan pasukan Hizbullah yang dipimpin oleh H. Zainul Arifin. Sementara para kiai sepuh berada di barisan Mujahidin yang dipimpin oleh KH. Wahab Hasbullah. Perang tak terelakkan sampai akhirnya Brigadir Jenderal Mallaby tewas.
Motif Mempertahankan Faham Ahlussunnah wal Jamaah. NU lahir untuk membentengi umat Islam khususnya di Indonesia agar tetap teguh pada ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah(mengikuti Sunnah Nabi, Sahabat, Tabi’in dan para Ulama), sehingga tidak tergiur dengan ajaran-ajaran baru, diantaranya adalah sebagai berikut,

1. kaum Khawarij dengan pemimpinnya Abdullah bin Abdul Wahab ar-Rasabi yang muncul di masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib r.a. yang berpendapat bahwa orang yang berdosa besar adalah kafir, sehingga ciri khas mereka mudah menuduh orang-orang Islam yang tidak sepaham dengan ajarannya sebagai kafir. Bahkan sahabat Ali bin Abi Thalib pun dicap kafir karena dianggap berdosa besar mau menerima tawaran tahkim/perdamaian yang diajukan oleh pemberontak Muawiyyah r.a.

2. Kaum Syi’ah, lebih-lebih setelah munculnya sekte syi’ah Rafidah danGhulat. Tokoh pendiri Syi’ah adalah Abdullah bin Saba seorang Yahudi yang pura-pura masuk Islam dan menyebarkan ajaran Wishoya, bahwa kepemimpinan setelah Nabi adalah lewat wasiat Nabi saw. Dan yang mendapatkan wasiat adalah Ali bin Abi Thalib. Sedangkan Abu Bakar, Umar dan Utsman termasuk perampok jabatan.

3. Aliran Mu’tazilah yang didirikan oleh seorang tabi’in yang bernama Wasil bin Atho’, ciri ajaran ini adalah menafsirkan al-Qur’an dan kebenaran agama ukurannya adalah akal manusia, bahkan mereka berpendapat demi sebuah keadilan Allah harus menciptakan al-manzilah bainal manzilataini, yakni satu tempat di antara surga dan neraka sebagai tempat bagi orang-orang gila.

4. Faham Qodariyyah yang pendirinya adalah Ma’bad al-Juhaini dan Gailan ad-Damsyqi keduanya murid Wasil bin Atho’ dan keduanya dijatuhi hukuman mati oleh gubernur Irak dan Damaskus karena menyebarkan ajaran sesat (bid’ah), ciri ajarannya adalah manusia berkuasa penuh atas dunia ini, karena tugas Allah telah selesai dengan diciptakannya dunia, dan bertugas lagi nanti ketika kiamat datang. Karena menurut mereka semua yang dilakukan oleh manusia adalah kehendak manusia sendiri tanpa ada campur tangan Allah.

5. aliran Mujassimah atau kaum Hasyawiyyah ciri aliran ini adalah menganggap Allah mempunyai jisim sebagaimana mahluknya yang diawali dengan menafsirkan al-Qur’an secara lafdzy dan tidak menerima ta’wil, sehingga sehingga mengartikan yadullah adalah Tangan Allah. (Lihat Ibnu Hajar al-’Asqolani dalam Fathul Baari Juz XX hal. 494) … bahkan mereka sanggup mengatakan, bahwa pada suatu ketika, kedua-dua mata Allah kesedihan, lalu para malaikat datang menemui-Nya dan Dia (Allah) menangisi (kesedihan) berakibat banjir Nabi Nuh a.s sehingga mata-Nya menjadi merah, dan ‘Arasy meratap hiba seperti suara pelana baru dan bahwa Dia melampaui ‘Arasy dalam keadaan melebihi empat jari di segenap sudut. [Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, h.141.]

6. Ajaran-ajaran para Pembaharu Agama Islam. Ajaran-ajaran para Pembaharu agama Islam ini dimulai dari Ibnu Taimiyyah (661-728 H / 1263-1328 M atau abad ke 7 – 8 H / 13 – 14 M, yakni 700 tahun setelah Nabi Wafat atau 500 tahun dari masa Imam Syafi’i). Beliau mengaku penganut madzhab Hanbali, tapi anehnya beliau justru menjadi orang pertama yang menentang sistem madzhab. Pemikirannya lalu dilanjutkan muridnya Ibnul Qoyyim al-Jauziy. Aliran ini kemudian dikenal dengan nama aliran salafi-salafiyah yang mengaku memurnikan ajaran kembali ke al-Qur’an dan Hadits, tetapi disisi lain mereka justru mengingkari banyak hadits-hadits Shahih (inkarus sunnah). Mereka ingin memberantas bid’ah tetapi pemahaman tentang bid’ahnya melenceng dari makna bid’ah yang dikehendaki Rasulullah saw, yang dipahami oleh para sahabat dan para ulama salaf Ahlussunnah wal Jama’ah.

Mereka juga membangkitkan kembali penafsiran al-Qur’an-Sunnah secara lafdzy. Golongan Salafi ini percaya bahwa Al-Qur’an dan Sunnah hanya bisa diartikan secara tekstual (apa adanya teks) atau literal dan tidak ada arti majazi atau kiasan didalamnya. Pada kenyataannya terdapat ayat al-Qur’an yang mempunyai arti harfiah dan ada juga yang mempunyai arti majazi. Jika kita tidak dapat membedakan diantara keduanya maka kita akan menjumpai beberapa kontradiksi yang timbul didalam Al-Qur’an. Maka dari itu sangatlah penting untuk memahami masalah tersebut.

Dengan adanya keyakinan bahwa seluruh kandungan Al-Qur’an dan Sunnah hanya memiliki makna secara tekstual atau literal dan jauh dari makna Majazi atau kiasan ini, maka akibatnya mereka memberi sifat secara fisik kepada Allah swt.. (seperti Allah swt. mempunyai tangan, kaki, mata dan lain-lain seperti makhluk-Nya). Mereka juga mengatakan terdapat kursi yang sangat besar didalam ‘Arsy dimana Allah swt duduk (sehingga Dia membutuhkan ruangan atau tempat untuk duduk) diatasnya. Terdapat banyak masalah lainnya yang diartikan secara tekstual. Hal ini telah membuat banyak fitnah diantara ummat Islam, dan inilah yang paling pokok dari mereka yang membuat berbeda dari Madzhab yang lain.

Munculnya Muhammad bin Abdul Wahab di abad ke 12 H / 18 M, lahir diAyibah lembah Najed (1115-1201 H/ 1703-1787 M) yang mengaku sebagai penerus ajaran Salafi Ibnu Taimiyyah dan kemudian mendirikan madzhabWahabi. Ia pun mengaku sebagai Ahlussunnah wal Jamaah karena meneruskan pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal yang diterjemahkan oleh Ibnu Taimiyyah, tapi sebagaimana pendahulunya, Muhammad bin Abdul Wahab dan pengikutnya pun layaknya kaum Khawarij yang mudah mengkafirkan para ulama yang tidak sejalan dengan dia, bahkan sesama madzhab Hanbali pun ia mengkafirkanya. Di sini, kita akan mengemukakan beberapa pengkafiran Muhammad bin Abdul Wahhab terhadap beberapa tokoh ulama Ahlusunah yang tidak sejalan dengan pemikiran sektenya:

Dalam sebuah surat yang dilayangkan kepada Syeikh Sulaiman bin Sahimseorang tokoh madzhab Hanbali, Muhamad Abdul Wahhab menuliskan:‘Aku mengingatkan kepadamu bahwa engkau bersama ayahmu telah dengan jelas melakukan perbuatan kekafiran, syirik dan kemunafikan !….engkau bersama ayahmu siang dan malam sekuat tenagamu telah berbuat permusuhan terhadap agama ini !…engkau adalah seorang penentang yang sesat di atas keilmuan. Dengan sengaja melakukan kekafiran terhadap Islam. Kitab kalian itu menjadi bukti kekafiran kalian!”(Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 hal. 31).

Dalam sebuah surat yang dilayangkan untuk Ibnu Isa yang telah melakukan argumentasi terhadap pemikirannya. Muhammad Abdul Wahhab menvonis sesat para pakar fikih secara keseluruhan. Muhamad Abdul Wahhab menyatakan: “Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah”. Rasul dan para imam setelahnya telah mengartikannya sebagai ‘Fikih’ dan itu yang telah dinyatakan oleh Allah sebagai perbuatan syirik. Mempelajari hal tadi masuk kategori menuhankan hal-hal lain selain Allah. Aku tidak melihat terdapat perbedaan pendapat para ahli tafsir dalam masalah ini.” (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 2 halaman 59).

Berkaitan dengan Fakhrur Razi pengarang kitab Tafsir al-Kabir, seorang ulama’ yang bermadzhab Syafi’i Asy’ary. Dalam karyanya tersebut, Fakhrur Razi menjelaskan tentang beberapa hal yang menjelaskan fungsi gugusan bintang dalam kaitannya dengan fenomena yang berada di bumi, termasuk berkaitan dengan bidang pertanian. Namun Muhammad bin Abdul Wahhab dengan keterbatasan ilmu terhadap ilmu perbintangan telah menvonisnya dengan julukan yang tidak layak, tanpa didasari ilmu yang cukup. Muhamad Abdul Wahhab mengatakan: “Sesungguhnya Razi tersebut telah mengarang sebuah kitab yang membenarkan para penyembah bintang”(Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 hal. 355).

Dari berbagai pernyataan di atas maka janganlah kita heran jika Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya pun mengkafirkan para pakar teologi (mutakallimin) Ahlusunnah secara keseluruhan (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 1 halaman 53), bahkan ia mengaku-ngaku bahwa kesesatan para pakar teologi tadi merupakan konsensus ijma’ para ulama dengan mencatut nama para ulama seperti adz-Dzahabi, Imam Daruquthni dan al-Baihaqi.

Tokoh lain penerus faham salafi Ibnu Taimiyyah adalah muncul pada abad ke 19 di Afghanistan yang bernama Jamaluddin al-Afghani (1838-1898). Ajarannya diteruskan oleh muridnya dari Mesir di abad ke 19 – 20 M yang bernama Muhammad Abduh (1949-1905). Pemikiran Muhammad Abduh menyebar ke berbagai penjuru dunia lewat tulisannya yang dimuat dalammajalah al-Manar. Setelah beliau wafat pada tahun 1905, majalah al-Manar diteruskan oleh muridnya yang bernama Muhammad Rasyid Ridla (1865-1935). Kumpulan tulisan Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridla ini kemudian dibukukan menjadi Tafsir al-Manar..

Tokoh ulama Wahabi yang menjadi rujukan dan panutan saat ini adalahMuhammad Nashiruddin al-Bani seorang dosen Ilmu Hadits di Universitas Islam Madinah yang lahir pada tahun 1915 dan wafat 1 Oktober 1989. Ia dipuja-puja kaum Wahabi-Salafi bahkan dianggap lebih alim dari Imam Bukhori, karena ia men-Tahrij / mengomentari beberapa haditsnya Imam Bukhori (194 – 256 H).

Kemudian dalam perkembangannya, aliran Salafi-Wahabi pun terpecah dalam banyak faksi (kelompok) dengan karakteristiknya masing-masing, tergantung pada imam mana yang diikutinya

Ajaran Salafi-Wahabi Masuk ke Indonesia

Ajaran Salafi-Wahabi ini masuk ke Indonesia mulanya dibawa oleh,
Seorang tokoh besar agama Islam asal Yogyakarta yang bernamaDarwis yang aktif dan rutin mengikuti pemikiran Muhammad Abduh-M. Rasyid Ridla lewat majalah al-Manar dan ajaran Wahabi. Ia kemudian dikenal dengan nama KH. Ahmad Dahlan yang pada 18 Nopember 1912 mendirikan organisasi keagamaanMuhammadiyyah.
Syaikh Ahmad Soorkati (1872-1943) asal Sudan yang kalah bersaing dalam Jami’at al-Khair di negaranya, kemudian hijrah ke Indonesia, lalu pada tahun 1914 di Betawi mendirikan organisasial-Irsyad.
Di Bandung pun muncul A. Hasan yang juga dikenal sebagaiHasan Bandung atau Hasan Bangil, penerus organisasi PERSIS(Persatuan Islam) yang didirikan pada 1923 oleh KH. Zamzam Palembang.
HOS. Cokroaminoto dengan PSII (Persatuan Syarikat Islam Indonesia).

Apa yang Menyebabkan Aliran “Islam Baru” Dapat Menyebar dengan Cepat?

Muhammad bin Abdul Wahab pernah menguji-coba ajaranya kepada penduduk Bashrah, tetapi karena mereka adalah penganut fanatik ajaran Ahlussunnah wal Jamaah, maka usahanya bagaikan menabrak batu karang. Kemudian Muhammad bin Abdul Wahhab menetap di Diriyah dan Pangeran Muhammad ibn Saud (dari Diriyah Najed) setuju untuk saling dukung-mendukung dengan Muhammad bin Abdul Wahhab. Keluarga / Klan Saud dan pasukan/lasykar Wahabi berkembang menjadi dominan di semenanjung Arabia, pertama menundukan Najed, lalu memperluas kekuasaan mereka ke pantai timur dari Kuwait sampai Oman. Orang Saudi juga membawa tanah tinggi ‘Asir dibawah kedaulatan mereka dan pasukan Wahhabi mereka mengadakan serangan di Irak dan Suriah, memuncak pada perampokan kota suci Shi’ah, Karbala tahun 1801.

Pada tahun 1802, pasukan Saudi-lasykar Wahhabi merebut kota Hijaz(Jeddah, Makkah, Madinah dan sekitarnya) dibawah kekuasaan mereka. Hal ini menyebabkan kemarahan Daulah Utsmaniyah Turki, yang telah menguasai kota suci sejak tahun 1517, dan membuat Daulah Utsmaniyah bergerak. Tugas untuk menghancurkan Wahhabi diberikan oleh Daulah Utsmaniyah Turki kepada raja muda kuat Mesir, Muhammad Ali Pasha.Muhammad Ali mengirim pasukannya ke Hijaz melalui laut dan merebutnya kembali. Anaknya, Ibrahim Pasha, lalu memimpin pasukan Utsmaniyah ke jantung Najed, merebut kota ke kota. Akhirnya, Ibrahim mencapai ibukota Saudi, Diriyah dan menyerangnya untuk beberapa bulan sampai kota itu menyerah pada musim dingin tahun 1818. Ibrahim lalu membawa banyak anggota klan Al Saud dan Ibn Abd Al-Wahhab ke Mesir dan ibukota Utsmaniyah, Istanbul Turki, dan memerintahkan penghancuran Diriyah, yang reruntuhannya kini tidak pernah disentuh kembali. Pemimpin Saudi terakhir, Abdullah bin Saud dieksekusi di Ibukota Utsmaniyah, dan kepalanya dilempar ke air Bosphorus. Sejarah kerajaan Saudi Pertama berakhir, namun, Wahhabi dan klan Al -Saud hidup terus dan mendirikankerajaan Saudi Kedua yang bertahan sampai tahun 1891.

Perselingkuhan agama – ambisi kekuasaan – kepentingan asing dimulai dari wilayah Najed. Ketika lasykar Wahhabi – klan al-Saud yang dipimpin Abdul Aziz Ibnu Sa’ud menyusun kekuatan kembali disertai dukungan persenjataan mesin dari sekutu lamanya, Inggris (antek Amerika). Maka awal tahun 1900-an mereka menyerang kembali kota Hijaz yang saat itu di pimpin raja Syarif Husain. Ketika itu Hijaz hanya dibantu oleh Daulah Utsmaniyyah Turki yang sudah mulai lemah, dan akhirnya pada tahun 1924 ketika kekuasaanya sudah mengecil raja Syarif Husain mengasingkan diri ke kepulauan Cyprus dan kekuasaanya diserahkan pada putranya yang bernama raja Syarif Ali. Raja Syarif Ali membuat kota-kota pertahanan baru, tapi lasykar wahabi-klan Ibnu Sa’ud dengan persenjataan canggih berhasil mengepung semua kota, hingga yang tersisa hanya pertahanan di pelabuhan Jeddah. Pada ahir 1925 ketika lasykar wahabi-klan Ibnu Sa’ud berhasil menguasai pelabuhan Jeddah, maka raja Syarif Ali menyerah pada pemberontak. Dari tahun 1925 inilah Hijaz dengan dua kota suci Makkah dan Madinah dikuasai oleh keluarga Sa’ud dan Wahabi. Dan akhirnya tepat tanggal 23 September tahun 1932, Hijaz berubah nama menjadi al-Mamlakah al-’Arabiyyah as-Sa’udiyyah (kerajaan Arab Sau’di), nisbat kepada nama leluhurnya yakni al-Sa’ud, dengan Ibukotanya Riyadh. Dan tahun 1943 muncullah ARAMCO (Arabian-American Company) yang mengksplorasi minyak Arab Saudi. Dari sejarah itulah, mengapa sampai saat ini Arab Saudi selalu tidak bisa bersuara selain seperti suara Amerika, sekalipun harus berbeda dengan negara-negara Islam lainnya.

Jatuhnya Hijaz ke tangan pemberontak pada 1925 tidak hanya berakibat perubahan pemeritahan, tapi juga merombak total praktek-praktek keagamaan di Hijaz dari yang semula Ahlussunnah wal Jamaah menjadi faham Wahabi. Seperti larangan bermadzhab, larangan ziarah ke makam-makam pahlwan Islam, larangan merokok, larangan berhaji dengan cara madzhab. Bahkan makam Rasulullah saw, sahabat dan tempat-tempat bersejarah pun berencana akan digusur karena dianggap sebagai biang / tempatnya kemusyrikan.

Ketika aliran Salafi-Wahabi berkembang di Dliriyyah maupun Najed itu belumlah membuat risau umat Islam dunia. Tetapi ketika mereka menguasai pusat Islam yakni dua kota suci di Hijaz, maka hal ini menimbulkan dampak yang luar biasa, termasuk dalam persebarannya ke seluruh dunia. Melihat perubahan ajaran yang terjadi di Hijaz, maka hampir semua umat Islam Ahlussunnah wal Jamaah di seluruh dunia memprotes rencana pemerintahan baru di Hijaz yang ingin memberlakukan asas tunggal, yakni madzhab Wahabi.

Kelahiran Nahdlotul Ulama

Protes luar biasa pun muncul di Indonesia, ketika bulan Januari 1926 ulama-ulama Ahlussunnah wal Jammah di Indonesia berkumpul di Surabaya untuk membahas perubahan ajaran di dua kota suci itu. Dari pertemuan tersebut lahirlah panita Komite Hijaz yang diberi mandat untuk mengahadap raja Ibnu Sa’ud guna menyampaikan masukan dari ulama-ulama Ahlussunah wal Jamaah di Indonesia. Akan tetapi karena belum ada organisasi induk yang menaungi delegasi Komite Hijaz, maka pada tanggal 31 Januari 1926, ulama-ulama Ahlussunnah wal JamaahIndonesia kembali berkumpul dan membentuk organisasi Induk yang diberi nama Nahdlatul Ulama dengan Rois Akbar KH. Hasyim Asy’ari.Setelah terbentuk, komite Hijaz mengirimkan delegasi sebagai utusan NU menghadap Raja Saudi. Delegasi yang dipimpin oleh KH. Wahab Hasbullah ini mengajukan protes atas langkah kerajaan Saudi yang meminggirkan madzhab empat, menggusur petilasan sejarah Islam, melarang tawassul, melarang ziarah kubur dan lain-lainnya dengan alas an anti syirik dan bid’ah.

Kelahiran NU merupakan muara perjalanan panjang sejumlah ulama’ pondok pesantren di awal abad 20 yang berusaha mengorganisir diri dan berjuang melestarikan ajaran Islam Ahlussunnah Waljamaah, sekaligus mengobarkan semangat nasionalisme melawan colonial Belanda.

Sesuai visinya, diharapkan NU menjadi wadah tatanan masyarakat yang sejahtera, berkeadilan dan demokratis bagi jutaan anggotanya. Hal ini diwujudkan dengan mengupayakan system kebijakan yang menjamin terwujudnya masyarakat sejahtera, melakukan pemberdayaan dan advokasi masyarakat serta menciptakan Ahlaqul Karimah.

Daftar Pustaka :

Al-Milal wa al-Nihal, Al-Syahrastani, Ensiklopedia Bebas ; Wikipedia, Ensiklopedia Islam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, Drs. Choirul Anam. Bisma Satu Surabaya, Resolusi Jihad dalam Peristiwa 10 November, M. Mas’ud Adnan, Jawa Pos, Telaah Kritis Atas Doktrin Faham Salafi / Wahabi, A. Sihabuddin

0 komentar:

Posting Komentar