Senin, 25 April 2011

Bergumul Dengan Komunitas di Kampus Unnes


Unnes kaya akan komunitas. Mulai dari komunitas teater, diskusi, pencinta motor, sampai seni rupa. Jika ingin menyalurkan hobi, menghilangkan kepenatan seusai kuliah, atau sekadar mengisi waktu luang, tak ada salahnya Anda bergabung dalam komunitas.

Jadwal kuliah tidak teratur seperti di SMA. Saat SMA kita terbiasa dengan jadwal rutin datang ke sekolah pukul 07.00 dan pulang setelah pukul 13.00. Karena jadwal yang berbeda seperti saat SMA, mahasiswa baru hendaknya dapat beradaptasi agar terbiasa dengan jadwal perkuliahan.

Sejak Unnes meluncurkan Sistem Akademik Terpadu atau Sikadu, mahasiswa diberi kebebasan untuk menentukan jadwal secara on-line. Kita bisa memilih jadwal pagi, siang, ataupun sore hari. Dalam seminggu, paling tidak mahasiswa menghabiskan 5 hari untuk aktivitas perkuliahan. Dalam sehari kita mengikuti perkuliahan tatap muka rata-rata 2-3 jam.

Banyaknya waktu luang yang tersedia dapat diisi dengan mengerjakan tugas kuliah, mencari referensi di perpustakaan, berorganisasi, browsing internet, nonton film, hingga nongkrong bersama teman di warung nasi kucing atau kafe.
Tak hanya itu, bagi yang memiliki hobi dapat menyalurkan kreativitasnya di unit kegiatan mahasiswa atau UKM. Namun, bila UKM tak mampu mengakomodasi hal ini, komunitas bisa menjadi alternatif untuk menyalurkan kreativitas mahasiswa.
Unnes memiliki banyak komunitas. Mulai dari komunitas teater, diskusi, pencinta motor, sampai seni rupa. Komunitas adalah suatu kelompok sosial yang para anggotanya memiliki kesamaan maksud. Biasanya mereka berkumpul karena memiliki hobi yang sama.

SEPERTI hari-hari sebelumnya, Kamis malam itu suasana perempatan Unnes tampak ramai. Deru mobil dan motor pengguna jalan berlalu lalang.
Di sebelah bengkel dekat Simpang-empat, beberapa orang sedang berkumpul. Deretan motor vespa berjajar rapi menghadap ke timur. Mereka adalah anggota komunitas pencinta Vespa, Unnes Vespa Owners atau UVO. Di tempat tersebut biasanya Budi Darmawan atau yang akrab dipanggil Bubu, Ketua UVO, berkumpul bersama temannya-temannya sesama anggota komunitas.
“Jadwal tongkrong komunitas kami tidak rutin tiap hari. Tapi jadwal wajib kumpulnya setiap malam Jumat mulai jam 9 malam sampai pagi,” tutur Bubu. Selain biasa berkumpul di Simpang-empat, UVO juga mempunyai base camp di Jalan Legoksari, Patemon.

Kegiatan yang dilakukan tidak hanya nongkrong dan ngobrol. UVO juga mengadakan kegiatan sosial. “Pada bulan puasa tahun 2007 kami mengadakan buka bersama di panti asuhan di daerah Kecamatan Gunungpati,” papar Bubu.
Komunitas yang terbentuk sejak 2001 ini kini mempunyai anggota resmi sekitar 30 orang. Seperti namanya, Unnes Vespa Owners, syarat utama menjadi anggota komunitas adalah harus mempunyai vespa.

UVO sering mengadakan touring. Mereka juga pernah mengikuti kontes vespa di Surabaya pada 2004. Tak hanya itu, berbagai kota di Indonesia, seperti Jakarta, Bali, dan Banjar Patroman, Jawa Barat, pernah mereka sambangi. UVO juga pernah melanglang buana ke Aceh, yaitu saat mengikuti festival Nol Kilometer.
Selain komunitas pencinta vespa, ada juga komunitas pencinta Mio. Namanya Mio-Mio Unnes atau Mimi’s. Tiap Kamis sore mereka berkumpul di depan BNI, Simpang-empat Unnes. Kini Mimi’s memiliki 20 anggota aktif.

Selain nongkrong dan touring, Mimi’s juga pernah mengikuti kontes pencinta Mio. Pada Jambore Nasional Mio ke-2, 19-20 April 2008 di Kendal, Mimi’s berhasil meraih prestasi dalam lomba free style. “Tanpa kami duga dapat juara II dan menggondol sebuah piala,” tutur Kavi, mahasiswa Bahasa Jawa yang juga anggota Mimi’s.
Selain UVO dan Mimi’s, ada juga komunitas pencinta motor lainnya. Sebut saja komunitas pencinta Mega-pro KOMPRES dan Komunitas Grand. Umumnya mereka kerap nongkrong bersama di jalanan sekitar Unnes.

YANG suka berdiskusi bisa bergabung dengan Komunitas Shovel. “Kan nggak ngeh kalau mahasiswa hanya kuliah dan kos saja tanpa menyibukkan diri dengan aktivitas yang bermanfaat,“ ujar Chabib Duta Hapsoro, koordinator Shovel.
Para anggota komunitas suka mendiskusikan kajian budaya populer atau cultural studies. Diskusi biasanya tak jauh-jauh dari segala kebudayaan populer yang sedang in di dunia anak muda. Mereka menelisik, menganalisis, merangkum hasil diskusi, lalu menyebarkannya lewat buletin.

Baru-baru ini Shovel mengadakan pemutaran film tiap minggu. “Kebetulan kami punya hobi sama, yaitu nonton film. Film juga termasuk produk kebudayaan populer,” tutur Chabib. Film yang pernah diputar, antara lain the Bourne Ultimatum dan Pentagon Papers.

KARYA dan pemikiran anggota komunitas tak dapat diremehkan. Sebut saja Kos To Kos Project atau KtoK Project dan Teater Sangkur Timur.
KtoK Project yang sejak 24 Desember 2006 menjelma menjadi Byar Creativity Industry membuat proyek pameran seni mandiri secara rutin. Pameran ini memanfaatkan rumah kos atau kontrakan mahasiswa sebagai ruang pamer. Rumah kos dipilih karena agar pameran mereka dapat dinikmati mahasiswa dan menekan biaya yang harus dikeluarkan.
Proyek pertama berlangsung pada 13 Desember 2006 dan dinamai KtoK # 1. Tak kurang 50 mahasiswa ikut serta dalam proyek ini. Proyek ini kemudian berlanjut KtoK # 2. Saat proyek KtoK berakhir dengan terlaksananya Ktok # 5 di penghujung tahun 2007, peran Byar semakin penting.

Anggota komunitas ini juga aktif mengikuti pemeran-pameran seni. Di antaranya dalam Festival Tanda Kota di Galeri Cipta II TIM di Jakarta dan Pameran Biennale Jogja IX tahun lalu.

Serupa dengan KtoK Project yang memilih menjadi komunitas, Teater Sangkur Timur tak jauh berbeda. Komunitas ini berdiri pada 16 Maret 2002 dengan nama Sangkur Timur TOLGTA atau Teater Orasi Lepas Gerakan Tanpa Antusias. Atau lebih dikenal dengan nama tenar “Sangkur Timur”. Hingga kini Sangkur Timur telah menampilkan pertunjukan dari satu panggung ke panggung pertunjukan, baik di dalam maupun di luar kampus.

KOMUNITAS tidak mendapat asupan dana dari universitas. Jadi, dalam berkegiatan mereka harus merogoh kocek sendiri. Karena memilih untuk menjadi independen, masalah dana jelas sangat berpengaruh bagi kelangsungan hidup komunitas.
Berbagai cara ditempuh untuk dapat bertahan. Untuk membiayai kegiatan, tiap anggota Shovel beriuran rutin Rp 20 ribu per bulan. Karena harus merogoh kocek sendiri, Shovel berusaha mencari partner atau rekanan yang bisa membantu. Shovel juga menjalin link dengan Importal, komunitas film mahasiswa Undip.

Pengalaman bertahan dengan dana sendiri tak selamanya berjalan mulus. “Kita melakukan fund rising di Semarang, gagal. Di Indonesia juga gagal. Akhirnya mencari alternatif ke luar negeri. Lalu kita dapat bantuan dari yayasan di belanda, HI-VOS,” kata Ridho, salah satu penggagas KtoK Project.“Untungnya kami mendapatkan sponsor, juga dari pemasukan tiket yang terjual setiap pertunjukan. Ya untuk ganti biaya produksi,” kata Daryat, Ketua Sangkur Timur saat ini. 

0 komentar:

Posting Komentar