Memang kadang orang sering lupa dengan asal muasalnya, seperti pepatah kacang lupa dengan kulitnya.
Tadinya aku tidak terlalu peduli dengan iklan-iklan yang ditayangkan di media televisi, namun baru aku ikut menyimak pesan moral dari salah satu iklan, saat seorang pengantar pasien yang sedang menunggu keluarganya berobat diruang tunggu, yang kebetulan menonton telivisi diruang tunggu tersebut.
Kebetulan tayangan iklan yang dimaksud adalah iklan dari XL yang dibintangi oleh Tukul Arwana, dalam iklan itu seorang Tukul memamerkan kecanggihan gadgetnya dengan sarana internet kepada para kuli bangunan yang sedang bekerja membangun sebuah rumah, perkataan yang di umbar oleh Tukul adalah “kamu tahu internet…? dasar ndeso…!”
Secara spontan pengantar pasien ini berkata, “Apa Tukul Arwana sadar kalau kata-katanya sudah bisa mengandung penghinaan kepada masyarakat desa yang seolah-olah sangat gaptek (gagap teknologi, red), ketinggalan dan sangat primitive, sehingga hanya orang kota saja yang tahu dan sering menggunakan internet, padahal dia (Tukul, red) juga berasal dari desa sebelum dia terkenal dan menjadi artis”.
Aku agak sedikit terperangah dengan pernyataannya itu dan setelah disimak ada benarnya juga, karena baru aku menyadari bahwa kami (termasuk klinik kami) juga berada di desa, tepatnya di desa Baturraden di lereng gunung slamet. Tapi kami nggak ketinggalan dan merasa ndesani seperti yang dimaksud Tukul Arwana, bahwa masyarakat desa tidak tahu internet, justru kami disini sangat maju dalam hal teknologi, contohnya desa kami sudah mengembangkan pertanian modern dengan penanaman bibit jamur organik yang hasilnya di eksport ke luar negeri, sebagai penggerak penananaman beras pandan wangi organik (artinya kami membudidayakan penanaman padi dengan pupuk organic bukan pupuk kimia), kami juga membudidayakan kebun strawberry yang sangat bagus kualitasnya, juga desa kami memiliki sentra balai penelitian dan pengembangan bibit sapi perah dan susu olahan dan sapi potong yang bekerja sama dengan Australia.
Singkatnya desa kami dapat mewakili anggapan bahwa kami bukan masyarakat primitive yang ketinggalan dengan berbagai teknologi dari orang kota, mungkin kalau Tukul Arwana baru melek internet, tapi desa kami sudah mengembangkan tenaga listrik mandiri yang diadakan dan dikelola oleh masyarakat desa seperti listrik tenaga air dan tenaga surya, jadi ketergantungan sumber listrik pada PLN sudah tidak terlalu bergantung seperti masyarakat kota.
Memang kalau dianalisa lebih lanjut, pasti Tukul Arwana hanya menjalani skenario dari si pembuat iklan, karena trade-mark seorang Tukul Arwana adalah Ndeso, tapi harusnya seorang Tukul Arwana jangan hanya sekedar menerima honor/bayaran dari pemilik iklan, maka dia harus melakukan kebodohan atas sikap yang harus menghina masyarakat desa yang dianggap tidak mengenal internet.
Pintar-pintarlah dalam memilih dan memilah tawaran sebagai bintang iklan sebuah produk.
Itulah dunia bisnis, demi mengejar keuntungan, apapun dilakukan, tanpa berpikir panjang apakah yang dibuatnya sudah benar dalam koridor aturan budaya, agama atau hukum adat/sosial lainnya.
Semoga pihak XL dan Tukul Arwana dapat menyadari kekeliruan ini, jangan hanya ingin barang dagangannya laku, tapi harus menghina orang desa, kalau tidak ada orang desa, maka beras tidak ada (siapa yang mau menanam padi), memang mereka bisa makan itu uang yang mereka miliki sekalipun dalam jumlah yang banyak.
Padahal pihak XL yang banyak orang kota dan pintar-pintar, harusnya belajar geografi, bukankah negara ini lebih dari 80 % masih wilayah pedesaan???, dan hitung berapa besar keuntungan XL bila semua masyarakat desa memakai XL???, eehhh… karena sudah dihina, maka jangan salahkan kalau mayarakat desa akan meninggalkan XL dan melupakan XL, lebih baik menggunakan provider yang ramah kepada masyarakat desa.
Ingat!, kekuatan ekonomi bangsa ini ditopang oleh masyarakat desa…bukan masyarakat kota saja.
Salam Wonk Ndeso…(orang desa yang telah dihina)
Titi.
Disadur dari kompasiana.com
Tadinya aku tidak terlalu peduli dengan iklan-iklan yang ditayangkan di media televisi, namun baru aku ikut menyimak pesan moral dari salah satu iklan, saat seorang pengantar pasien yang sedang menunggu keluarganya berobat diruang tunggu, yang kebetulan menonton telivisi diruang tunggu tersebut.
Kebetulan tayangan iklan yang dimaksud adalah iklan dari XL yang dibintangi oleh Tukul Arwana, dalam iklan itu seorang Tukul memamerkan kecanggihan gadgetnya dengan sarana internet kepada para kuli bangunan yang sedang bekerja membangun sebuah rumah, perkataan yang di umbar oleh Tukul adalah “kamu tahu internet…? dasar ndeso…!”
Secara spontan pengantar pasien ini berkata, “Apa Tukul Arwana sadar kalau kata-katanya sudah bisa mengandung penghinaan kepada masyarakat desa yang seolah-olah sangat gaptek (gagap teknologi, red), ketinggalan dan sangat primitive, sehingga hanya orang kota saja yang tahu dan sering menggunakan internet, padahal dia (Tukul, red) juga berasal dari desa sebelum dia terkenal dan menjadi artis”.
Aku agak sedikit terperangah dengan pernyataannya itu dan setelah disimak ada benarnya juga, karena baru aku menyadari bahwa kami (termasuk klinik kami) juga berada di desa, tepatnya di desa Baturraden di lereng gunung slamet. Tapi kami nggak ketinggalan dan merasa ndesani seperti yang dimaksud Tukul Arwana, bahwa masyarakat desa tidak tahu internet, justru kami disini sangat maju dalam hal teknologi, contohnya desa kami sudah mengembangkan pertanian modern dengan penanaman bibit jamur organik yang hasilnya di eksport ke luar negeri, sebagai penggerak penananaman beras pandan wangi organik (artinya kami membudidayakan penanaman padi dengan pupuk organic bukan pupuk kimia), kami juga membudidayakan kebun strawberry yang sangat bagus kualitasnya, juga desa kami memiliki sentra balai penelitian dan pengembangan bibit sapi perah dan susu olahan dan sapi potong yang bekerja sama dengan Australia.
Singkatnya desa kami dapat mewakili anggapan bahwa kami bukan masyarakat primitive yang ketinggalan dengan berbagai teknologi dari orang kota, mungkin kalau Tukul Arwana baru melek internet, tapi desa kami sudah mengembangkan tenaga listrik mandiri yang diadakan dan dikelola oleh masyarakat desa seperti listrik tenaga air dan tenaga surya, jadi ketergantungan sumber listrik pada PLN sudah tidak terlalu bergantung seperti masyarakat kota.
Memang kalau dianalisa lebih lanjut, pasti Tukul Arwana hanya menjalani skenario dari si pembuat iklan, karena trade-mark seorang Tukul Arwana adalah Ndeso, tapi harusnya seorang Tukul Arwana jangan hanya sekedar menerima honor/bayaran dari pemilik iklan, maka dia harus melakukan kebodohan atas sikap yang harus menghina masyarakat desa yang dianggap tidak mengenal internet.
Pintar-pintarlah dalam memilih dan memilah tawaran sebagai bintang iklan sebuah produk.
Itulah dunia bisnis, demi mengejar keuntungan, apapun dilakukan, tanpa berpikir panjang apakah yang dibuatnya sudah benar dalam koridor aturan budaya, agama atau hukum adat/sosial lainnya.
Semoga pihak XL dan Tukul Arwana dapat menyadari kekeliruan ini, jangan hanya ingin barang dagangannya laku, tapi harus menghina orang desa, kalau tidak ada orang desa, maka beras tidak ada (siapa yang mau menanam padi), memang mereka bisa makan itu uang yang mereka miliki sekalipun dalam jumlah yang banyak.
Padahal pihak XL yang banyak orang kota dan pintar-pintar, harusnya belajar geografi, bukankah negara ini lebih dari 80 % masih wilayah pedesaan???, dan hitung berapa besar keuntungan XL bila semua masyarakat desa memakai XL???, eehhh… karena sudah dihina, maka jangan salahkan kalau mayarakat desa akan meninggalkan XL dan melupakan XL, lebih baik menggunakan provider yang ramah kepada masyarakat desa.
Ingat!, kekuatan ekonomi bangsa ini ditopang oleh masyarakat desa…bukan masyarakat kota saja.
Salam Wonk Ndeso…(orang desa yang telah dihina)
Titi.
Disadur dari kompasiana.com
0 komentar:
Posting Komentar